Pages

Friday, September 23, 2011

Catatan Seorang Nahkoda

Tanpa terasa tahun 2011 menyisahkan tiga bulan lagi untuk dilalui. Moment pergantian tahun sudah didepan mata. Bagi sebagian besar orang, ini merupakan saat yang spesial dan ditunggu kehadirannya. Apakah untuk berkumpul dan berlibur bersama keluarga, ataupun hanya sekedar menikmati keindahan alam nusantara bersama teman dan kerabat.

Saya jadi terkenang saat dua atau tiga tahun lalu, saat saya bersama sahabat menghabiskan moment pergantian tahun disebuah pulau kecil nan indah di hamparan kepulauan seribu. Pulau Tidung namanya, kecil, namun indah menyejukkan mata. Hamparan pasir putih dan keindahan wisata lautnya membuat betah berlama-lama di kedalaman birunya air. Tidung yang terdiri dari dua pulau bersebelahanan, tidung besar dan tidung kecil ini, memiliki sebuah jembatan yang menghubungkannya. Jembatan ini sangat indah dan menarik, bisa menjadi tempat arena bersepeda, tumpuhan loncatan menuju air pantai, atau menikmati sunset yang begitu indah, ketika cahaya matahari sore menyeruak ingn menyapa gelap. Atau bisa menjadi jembatan 'cinta' bagi beberapa pasangan.

Namun ada sesuatu hal yang sangat menarik yang ingin saya ceritakan kali ini, bukan tentang keindahan Tidung yang mempesona, tidak juga pasir putih lembut menggoda, ataupun bahari bawah laut yang begitu memanjakan mata. Tapi ini mengenai perjalanan saya diatas kapal penumpang, yang dibawa oleh nahkoda dari daratan tanjung priok menuju tidung. Kapal sederhana, yang tidak begitu tahan terpa'an angin kencang, yang bermuatan tidak lebih dari dua ratus orang itu, mencoba memecah gelombang melewati deretan pulau digugusan kepulauan seribu. Pagi hari yang cerah, secerah harap penumpang diatas kapal, secerah hati para pelancong, atau bahkan masyarakat asli tidung yang akan kembali ke pulau mereka.

Perjalanan yang menyenangkan, walaupun ditengah-tengah laut sempat terhentikan oleh pecahan gelombang yang begitu besar, sehingga memaksa nahkoda memutarkan kapalnya menuju pulau terdekat, pulau pramuka, untuk berhenti sejenak,sampai deburan ombak dan gelombang mulai bersahabat lagi dengan kemampuan laju kapal. Dua puluh menit bukanlah waktu yang lama, karena pemandangan sekitar yang begitu memukau.

Memang, dua atau tiga tahun lalu kejadian ini saya alami, namun pelajaran yang saya dapatkan dari nahkoda kapal ini masih terus teringat.

Nahkoda kapal yang terlihat sangar dan gambaran tato disekujur tubuhnya, begitu lihai memainkan kemudi kapal. Saya yang duduk tepat dekat jendela samping kanan kemudi dengan leluasa dapat melihat bagaimana ia mengemudi. Santai, tak seperti laju kapal yang terasa terombang ambing gelombang.
Obrolan ringan antara saya, nahkoda kapal dan beberapa orang sekitar cukup menyenangkan, dan membuat waktu perjalanan tak begitu terasa. Banyak cerita, namun ada satu kisah yang menarik, yang memberi pelajaran besar tentang kehidupan. Dan ini kisah sang Nahkoda.

Sebagai seorang pengemudi yang hari-harinya dilalui diatas kapal, dari satu tempat-ketempat lain, satu pulau ke pulau yang lain, berpindah-pindah kapal, berpindah-pindah tempat tidur, berjumpa dengan orang-orang yang baru, berbulan-buan jauh dari keluarga, terutama sang istri.
Dapat dibayangkan bagaimana kisah kehidupan berjalan, berhari-hari bahkan berbulan diatas kapal, sehingga tak banyak yang bisa dilakukan. Hingga teman karib nya adalah minuman keras, mabuk-mabukan, berjudi dan berganti pasangan.
'Itulah hari-hari kami, dan setiap tempat pasti selalu bertemu wanita-wanita berbeda, sementara kami meninggalkan anak dan istri yang selalu menunggu dirumah' sang nahkoda bercerita.

Saat dirumah pun, kebiasaan ini sering berulang, terutama mabuk, minuman keras. Tak jarang sang nahkoda memaksa istri nya untuk mencarikan minuman keras untuknya. Dan tak jarang pula ketika keinginan itu tak disanggupi oleh sang istri, ia sering berlaku kasar. Menghukum sang istri dengan kekerasan fisik.
'Dan itu berlangsung bertahun-tahun, namun saya sempat berfikir, mengapa istri saya tidak pernah melawan, tetap bertahan walaupun sering tersakiti, walaupun mungkin ia tahu seperti apa kelakuan saya saat berlayar ' Sang nahkoda menambahkan.

Dan saat kondisi benar-benar kacau melandanya, sang nahkoda benar-benar uncontrol, mabuk-mabukan yang luar biasa, memaksa istrinya untuk menyediakan minuman keras. Dan akhirnya ia pun benar-benar dalam kondisi yang parah.
'Saat itu saya seperti tak sadarkan diri, itu adalah kondisi mabuk saya yang paling berat dan menggila, dan saya pikir hidup saya akan berakhir dengan cara seperti itu' Nahkoda itu bercerita sambil kemudi tetap ditangannya.

Dan yang benar-benar membuat lelaki bertato ini terperangah, adalah saat ia sadar dari pingsannya, saat tubuhnya berangsur pulih, dan ia menatap seorang wanita yang senantiasa merawatnya dengan tulus.
Padahal wanita itu adalah orang yang senantiasa ia khianati bertahun-tahun, yang ia tinggalkan dirumah, namun wanita itu tetap setia, sementara lelaki nahkoda ini sibuk bergonta-ganti wanita disetiap temapt yang ia singgahi, padahal wanita itu adalah objek kekerasan dan kedzaliman dirinya. Namun ia senantasa iklas dan setia, ia adalah istri sang nahkoda yang berhati tulus.

Lelaki yang sudah mulai terlihat menua namun tetap gagah itu kembali menuturkan kisahnya. Dengan sedikit lirih nada suaranya, dan mata yang sedikit berkaca-kaca, 'Saat itu saya tersadar betapa tulusnya wanita yang saya nikahi itu, dan tak pernah iya memaki, memarahi, dan memaksa saya untuk berhenti bersikap kotor. Ia hanya menunjukkan sikap tulusnya, merawat saya dan anak-anak dengan ikhlas. Dan merubah saya dengan doa-doa nya. Dan saya rasa, itulah kekuatan terbesar yang dimilikinya, dan melunakkan hati saya'.

Sejak kejadian itu, sang nahkoda berjanji dalam dirinya, tak ada lagi alasan untuk menyakiti dan menghianati istrinya, padahal sang istri begitu setia dan tulus bertahun-tahun, dan ia berjanji untuk melupakan kebiasaan dimasa lalunya. Keinginan untuk mabuk, minum minuman keras dan berganti wanita disetiap persinggahannya ia kubur dalam dalam.

Tak hanya kata, namun ia buktikan dengan tindakan seorang 'hero' yang bertanggung jawab, ia tinggalkan kapal tempat ia senantiasa berlayar. Dan sekarang ia hanya melayar dengan kapal kecil, diseputaran gugusan kepulauan seribu. Secara penghasilan, pastilah jauh lebih sedikit dari pekerjaan sebelumnya, namun kedamaian terasa olehnya, goadaan-godaan besar kehidupannya seperti saat di kapal besar sudah tak ia jumpai. Ia mengatakan, tak akan lagi ia kehilangan keluarga dan istri nya yang begitu tulus, biar lah pekerjaan besar itu berganti dengan materi yang sedikit, asal ia dapat memperbaiki kesalahannya.

'Dan saya tobat,mas' Ujar lirih sang nahkoda sambil menepihkan kapal ke mulut pantai tidung.

Terperangah, haru, sekaligus kagum dan bahagia mendengarkan kisah sang nahkoda, pelajaran yang begitu berharga, kisah kehidupan yang begitu indah, bisa jadi lebih indah dari tidung yang sudah ada di depan mata, apabila kita benar-benar memaknai dan memetik hikmah.

"Bahwa menyampaikan hal kebaikan kepada seseorang bukanlah dengan hujanan kata dan hujatan, makian dan paksaan, tapi dengan cinta dan ketulusan, dengan akhlak yang mulia, di iringi doa disetiap harap."

"Bahwa batu yang begitu keraspun bisa terkikiskan oleh tetesan air yang terlihat begitu lemah, apabila terus menerus tiada henti dilakukan."

"Bahwa tak ada yang tak mungkin didunia ini, jika IA menghendaki"

Saya hanya mengucapkan doa untuk sang nahkoda yang luar biasa, dan ribuan terima kasih dari hati, untuk kisah dan nasehat kehidupan, untuk mengantarkan saya dan para penumpag dengan selamat, untuk segera menikmati Tidung yang sepertinya mulai menari-nari menggoda para pendatang untuk berkelana, berpisah dari masa lalu untuk menyapa masa depan.

No comments:

Post a Comment